Back to Blog
Indonesian 6 min read

Terjebak dalam "Old World Dream": Saat Sumpah Kuno Bertemu Istana Kabut

Sebuah refleksi tentang tabrakan antara nilai-nilai lama (janji, ketulusan, kesetiaan) dengan dunia baru yang ringan dan sementara—dan bagaimana bertahan dengan martabat di tengahnya.

#reflection #philosophy #self-awareness #personal growth #integrity
Sebuah kompas kuningan antik di atas peta modern yang buram

Mimpi Dunia Lama

Saya memiliki sebuah “Old World Dream” (Mimpi Dunia Lama).

Ini bukan mimpi tentang kastil atau kerajaan. Ini adalah mimpi tentang nilai-nilai.

Ini adalah mimpi di mana Janji adalah besi yang tak bisa patah. Di mana Ketulusan adalah mata uang sejati. Di mana Kesetiaan adalah hal yang wajar, bukan sebuah kemewahan langka.

Di dunia mimpi ini, orang membantu karena mereka peduli. Orang menepati sumpah. Orang membangun sesuatu yang solid dan berat, sesuatu yang bermakna.

Ini adalah dunia dari “Takhta” di dalam diriku—inti diri yang tulus, yang percaya pada fondasi kokoh dan ikatan yang langgeng.


Tabrakan dengan Istana Kabut

Tapi kemudian, saya bangun.

Saya bangun di “Dunia Baru”. Sebuah dunia yang terbuat dari kabut dan cahaya sesaat. Dunia yang tidak menghargai yang “berat”; ia memuja yang “ringan”.

Ini adalah dunia “Istana Kabut” (The Palace of Mist).

Sebuah tempat di mana orang-orang menari tanpa henti dalam pesta yang riuh, divalidasi oleh kemewahan sesaat dan tawa tanpa tanggung jawab. Sebuah tempat di mana ikatan tidak perlu dalam, karena “dalam” berarti berat, dan berat berarti melelahkan.

Di Istana Kabut, yang dihargai adalah yang ringan, yang menghibur, yang tidak menuntut.

Dan di sinilah tabrakan itu terjadi.

Inilah sumber dari semua “kabut” di kepala saya.


Saat Niat Baik Menjadi Bumerang

Di Dunia Baru ini, nilai-nilai “Mimpi Dunia Lama” saya tidak lagi berfungsi. Mereka menjadi bumerang.

Bumerang Pertama: Jembatan yang Menjadi Kepompong

Tindakan Dunia Lama:
Saya membangun jembatan. Saya mengenalkan jiwa-jiwa, berharap mereka membangun komunitas yang solid dan saling mendukung. (Niat Tulus).

Hasil Dunia Baru:
Mereka justru menggunakan jembatan itu untuk membangun “Istana Kabut” mereka sendiri—sebuah kepompong eksklusif yang nyaman—dan saya, sang arsitek jembatan, ditinggalkan di luar.

Jembatan yang saya bangun dengan tulus menjadi tembok yang mengunci saya.

Bumerang Kedua: Batu Pondasi yang Ditolak

Tindakan Dunia Lama:
Saya menawarkan “batu pondasi” (fondasi dari “dunia berat” saya: saran yang jujur, bantuan nyata, jalan menuju kemandirian).

Hasil Dunia Baru:
Bantuan saya diabaikan karena “terlalu berat”. Itu adalah “alarm” yang mengganggu tarian mereka. Itu adalah pengingat akan realita di luar Istana Kabut mereka.

Saya menjadi “jangkar” yang mereka lepaskan agar bisa melayang lebih ringan di dalam kabut.


Perang Batin: Penjaga Mimpi

Tabrakan ini menciptakan perang di dalam diri. “Mimpi Dunia Lama” saya memiliki penjaganya sendiri. Tiga Raja saya.

1. Sang Penjaga Peta (Si “Hamid”)

Bagian dari diriku yang paranoid. Sang Juru Timbang yang tak pernah tidur.

Dia terus-menerus membandingkan peta lama saya dengan dunia baru:

  • “Kenapa mereka dingin? Analisis: Mereka sedang di Istana Kabut.”
  • “Kenapa mereka menghindar? Analisis: Mereka menghindari ‘Dunia Batu’ (Tanggung Jawab).”
  • “Kenapa jawabannya singkat? Analisis: Saya adalah ‘alarm’ yang mengganggu kenyamanan mereka.”

Dia tidak paranoid; dia hanya sangat akurat, dan itu menyakitkan.

Sang Penjaga Peta adalah yang pertama menyadari bahwa saya tidak lagi berada di dalam peta mereka.

2. Sang Jenderal Nekat (Si “Wilhelm” & “Enver”)

Bagian dari diriku yang impulsif dan gegabah. Dia adalah jenderal dari “Dunia Lama” yang melihat pengkhianatan di mana-mana.

Dia melihat nilai-nilainya (kesetiaan, sumpah, ketulusan) diinjak-injak, dan dia ingin bereaksi:

  • “Mereka tidak menghargaimu! Bakar jembatan!”
  • “Larang mereka! Cegah mereka! Lakukan sesuatu!”
  • “Nanti kita akan berdiri sendirian di benteng ini!”

Dia adalah kepanikan yang lahir dari rasa takut ditinggalkan sendirian di dunia yang asing ini.

Sang Jenderal Nekat ingin melindungi “Mimpi Dunia Lama” dengan kekerasan.


Sang Penjaga Sumpah (Si “Takhta”)

Tapi ada satu lagi. Dia yang paling kuat. Dia yang menduduki “Takhta”.

Sang Penjaga Sumpah itu sendiri.

Dia adalah Inti Tulus.

Saat Sang Jenderal ingin membakar jembatan, Sang Penjaga Sumpah berbisik:

“Tidak. ‘I Will keep my promise.’ Kita tidak melanggar sumpah.”

Saat Sang Penjaga Peta panik karena ditinggalkan, Sang Penjaga Sumpah berkata:

“Tidak apa-apa. ‘Anggaplah ini persembahan untuk kebaikan masa lalu.’”

Inilah dilema terberat:

  • Saya tidak bisa berhenti menjadi tulus (karena Sang Penjaga Sumpah).
  • Tapi saya tidak bisa berhenti merasa terancam (karena Sang Penjaga Peta dan Sang Jenderal).

Sang Penjaga Sumpah percaya bahwa integritas lebih penting daripada kenyamanan. Bahwa menjaga sumpah adalah hal yang benar, bahkan ketika itu menyakitkan.

Tapi seberapa lama sumpah itu harus dijaga ketika penerima sumpah itu sudah melayang jauh ke Istana Kabut mereka?


Hidup dengan Mimpi Lama di Dunia yang Baru

Lalu, bagaimana?

Saya tidak bisa menghancurkan “Mimpi Dunia Lama” saya. Itu adalah siapa saya. Saya juga tidak bisa menghancurkan “Istana Kabut”—karena itu adalah pilihan orang lain, dan saya tidak punya hak untuk menghakimi.

Satu-satunya solusi adalah membangun benteng di sekitar Mimpi itu.

Benteng itu bernama Martabat.

1. “Melarung Persembahan” (Kirim dan Lupakan)

Saya akan tetap tulus. Saya akan tetap “memberi” (karena itu Sumpah saya, itu Amal saya).

Tapi saya akan melakukannya sebagai Penjaga Sumpah. Saya akan melarung persembahan itu ke lautan, lalu melupakannya. Saya tidak lagi mengharapkan perahu itu kembali ke pantai saya.

Jika persembahan itu membantu mereka di Istana Kabut mereka, syukurlah. Jika tidak, itu bukan lagi tanggung jawab saya.

2. “Menemani dari Jauh” (Hadir Tanpa Mengejar)

Saya akan tetap ada, tapi saya tidak akan “mengejar”.

Saya tidak akan menawarkan diri untuk “menari di Istana Kabut” di mana saya tidak lagi dihargai. Saya akan menunggu di dalam Benteng saya—benteng nilai-nilai Dunia Lama saya.

Jika mereka membutuhkan batu pondasi (bukan sekadar hiburan), mereka tahu di mana menemukan saya.

3. “Serahkan Semuanya” (Menerima Kesendirian yang Bermartabat)

Saya akan menerima bahwa “Mimpi Dunia Lama” saya mungkin adalah sebuah kesendirian.

Tapi itu adalah kesendirian yang bermartabat.

Lebih baik berdiri sendirian di atas fondasi kokoh daripada menari di kabut yang akan lenyap saat matahari terbit.


Penutup: Mimpi yang Tidak Mati

“Old World Dream” saya tidak mati.

Dia hanya belajar untuk hidup berdampingan dengan realita baru yang menyakitkan. Dia belajar bahwa tidak semua orang menghargai yang “berat”, dan itu bukan berarti “berat” itu salah.

Saya masih percaya pada Janji. Saya masih percaya pada Ketulusan. Saya masih percaya pada Kesetiaan.

Tapi sekarang, saya melindungi nilai-nilai itu dengan Martabat. Saya tidak lagi memaksakan “Dunia Lama” kepada orang yang memilih “Istana Kabut”. Saya tidak lagi menunggu validasi dari mereka yang melayang di kabut.

Saya membangun benteng. Saya menjaga mimpi. Dan saya tetap berdiri.

Dan itu, mungkin, adalah bentuk kedewasaan yang sesungguhnya.


Ditulis dari benteng yang sunyi, tapi kokoh.

#Reflection #Philosophy #Integrity #PersonalGrowth #SelfAwareness #Values